Meski tubuhnya besar, Artini Ibnu Dharmawan terlihat ringkih. Selang oksigen menyangga kehidupannya.Perdarahan di pembuluh kepala yang dialami dua bulan lalu membuat ibu empat anak itu tumbang. Kondisi ini berbeda ketika dia menjadi wanita pertama yang mendermakan darahnya setidaknya 117 kali.
IBNU YUNIANTO, Jakarta
KESEHARIAN Amni memang tak jauh dari urusan darah. Sejak 1969. perempuan yang lahir di Tulungagung 14 Mei 1937 itu mengabdikan diri sebagai tenaga tranfusi darah di Dinas Dennawan Darah, cikal bakal Unit Pelayanan Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI).
Sejak itu pula secara rutin setiap tiga bulan Artini mendonorkan darahnya. "Saya tidak tahu persis kapan Ibu mulai mendonorkan darah. Sebab, karcis donor yang dulu-dulu sudah tinggal kriwill-kriwil (hancur)," ujar Diyanuariui Haridiru.putrinya. "Kartuyang masih utuh itu ketika Ibu donor ke-50 pada 17 September 1993." tambah perempuan yang akrab dipanggil Dim tersebut. Menurut catatan, wanita berusia 72 tahun itu menerima penghargaan sebagai donor darah ke-75 pada 17 September 1999 dan menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial sebagai donor ke-100 kali dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Januari 2007. Hingga 4 April 2009. Anim telah 117 kali menyumbangkan darahnya.
Bila satu kali donor menyumbangkan darah 250 mililiter. berarti selama 37 tahun Artini telah menyumbangkan 29.250 mililiter atau sekitar 29.25 liter darah. Dengan standar satu kantong darah dapat menyelamatkan satu hingga tiga nyawa, Artini telah menyelamatkan kehidupan setidaknya 351 orang. Karena tak ada satu pun penerima darah yang dikenal secara pribadi, penderma darah tak ubahnya the good Samaritan dalam teologi Nasrani."Ibu selalu berkata, (untuk menyelamatkan nyawa) Saya tidak bisa menyumbang uang, maka saya menyumbang darah. Apalagi, tidak ada darah buatan. Padahal, setiap hari selalu ada orang yang butuh darah. Entah itu karena kecelakaan, operasi, atau penyakit. Maka harus ada yang mendermakan darahnya. Toh dalam sehari, darah yang keluar itu sudah kembali lagi," ujar Dini menirukan ucapan Anim,
Karena semangat pengabdian sosial itu, Artini tidak pernah absen menyumbang darah meski puasa Ramadan. Bagi dia. bulan suci justru harus diisi amalan yang lebih banyak, termasuk donor darah. Apalagi, karena banyak donor yang mengambil jeda, stok darah di PMI pasti kosong saat Ramadan. "Ibu hanya istirahat donor darah ketika hamil dan melahirkan." terang Dini.Menurut Humas PMI Ria Thahir, ada tiga perempuan yang mencatatkan diri sebagai donor lebih dari seratus kali. Tapi. Artini yang terbanyak. Pemegang rekor donor darah saat ini adalah Raden Husni Bandi, yakni 186 kali. Wartawan koran ini sempat menyambangi kediaman Bandi di kawasan Rawasari. Cempaka Putih. Jumat pekan lalu. Namun, kedatangan wartawan koran ini temyata bertepatan dengan peringatan hari ketujuh meninggalnya Bandi. Sementara, rekor untuk donor darah terbanyak adalah mendiang Aksis Djalimun asal Bandung, lahir 30 Maret 1920. Almarhum telah 300 kali mendonorkan darahnya.
Meski demikian, Artini mendapatkan manfaat tak langsung dari aktivitas sosialnya. Sejak rutin berdonor. kesehatannya selalu prima. Selama lebih dari 35 tahun. Artini tidak pernah terserang flu, apalagi penyakit berat. Artini yakin kondisi kesehatannya yang baik itu disebabkan dirinya rutin melakukan detoktifikasi setiap kali mendonorkan darahnya. Darah pun selalu berganti dengan darah baru, sehingga meringankan kerja ginjal untuk menyaring racun dalam darah."Kila makan segala macam, tapi tidak pernah membuang racunnya. Rasulullah dulu mencontohkan bekam. karena diyakini mampu menghilangkan 72 penyakit. Padahal, bekam hanya mengambil sedikit darah dibandingkan kalau donor," katanya. "Kalau kini Ibu terserang aneurisma (perdarahan pembuluh darah di kepala) dan hidrocefalus (pembesaran kantong cairan otak), itu tak lain karena faktor genetika," tutur Dini.
Istri mantan komandan Pangkalan Udara Atang Sanjaya Kolonel (pur) Ibnu Dharmawan ini bergabung ke PMI setelah menjadi staf kesehatan di Rumah Tangga Kepresidenan yang ditempatkan di Istana Bogor. Artini adalah salah satu perawat mantan Presiden Soekarno ketika tetirah di Istana Bogor, sebelum presiden pertama itu menjadi "tahanan rumah" di Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.Karena posisinya yang selalu berada di dekat dengan Bung Karno di masa-masa sakit, pemilik golongan darah B itu pun dekat secara pribadi dengan putra-putri proklamator dari garis Ny Hartini Soekarno. Bahkan, karena kedekatan pribadi dengan keluarga Bung Karno. Artini diminta menjadi salah satu anggota Yayasan Bung Karno yang mengurusi donasi dari mantan kawan Soekarno di negeri Belanda.
Artini juga dekat dengan keluarga Soeharto sejak putri sulung Soeharto. Ny Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), menjabat ketua Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI). Karena kedekatan ini pula, Artini pernah dijemput petugas PMI dari kediamannya di Bogor ke RSPAD Gatot Subroto di Jakarta.Temyata. Soeharto yang ketika itu dirawat di RS Pertamina membutuhkan trans-fusi darah. Kebetulan hanya golongan darah Hutomo Mandala Putra yang cocok. Maka, Tommy yang ketika itu masih menjadi narapidana di Nusakambangan diterbangkan khusus ke RSPAD untuk diambil darahnya. Uniknya. Tommy ketika itu meminta Artini yang mengambil darahnya. "Katanya takut salah suntik di vena. Jadi setelah selesai ambil darah, yo dipulangkan lagi ke Bogor," tutur Dini lantas terkekeh.
Pengalaman panjang Artini sebagai ahli transfusi darah juga dimanfaatkan Unit Pelayanan Transisi Darah PMI DKJ Jakarta. Menjelang akhir karirnya pada 2006, Artini ditugasi menjadi "dosen" untuk melatih para calon asisten ahli transfusi darah di UPTD PMI Jakarta. Artini yang tidak pernah diangkat menjadi PNS ini akhirnya pensiun dengan pesangon Rp 10 juta. "Pesangon itu sama dengan gaji sepuluh bulan. Setelah itu tidak ada lagi. Jadi. Ibu hanya mengandalkan pensiun Bapak." tutur Dini.
Mengikuti suami yang pindah tugas ke Bogor, Artini pun pindah tugas dari UPTD PMI Jakarta di Jalan Kramat Raya ke RS PMI Bogor sebagai asisten ahli transfusi darah. "Rumah sakit ini adalah rumah kedua Ibu. juga tempat bermain bagi seluruh anaknya. Kami sering diajak ke sini kalau Beliau bekerja." tutur Dini.Tragisnya, dua minggu terakhir ini Artini menghuni Paviliun Anggrek RS PMI Bogor sebagai pasien, setelah sekitar satu setengah bulan lalu menjalani operasi dan pemulihan pascaoperasi di RSPAD Gatot Subroto. Ketika dijenguk wartawan koran ini akhir pekan lalu. Artini sudah mampu menjabat tangan dan mengedipkan mata. Artini pun sudah dinyatakan siap untuk dirawat di rumah. Tak kurang dan Rp 104 juta sudah dihabiskan untuk menebus obat saja.
0 komentar:
Post a Comment