Dakwatuna.com – Sebelum menyelami masalah Palestina yang akut dan berkaitan antara satu dengan yang lain, perlu dipahami bersama bahwa letak geografis Palestina yang mengikat dua sayap dunia Islam—Benua Asia dan Afrika, tempat persinggungan tiga agama besar, dan sejarah perebutan kekuasaan oleh imperium-imperium raksasa membuktikan posisi penting Palestina. Ketika Islam datang ke Palestina semasa Khalifah Umar bin Khattab r.a., penduduk Palestina terpikat dengan ajaran Islam setelah meraka berinteraksi langsung dengan komunitas Islam. Akhirnya mereka mempercayakan kunci tanah Palestina kepada Khalifah Umar r.a., meskipun mereka belum memeluk Islam. Islam lebih menempati hati mereka daripada imperium Romawi.
Sejak itulah Palestina menjadi tanah wakaf umat Islam, hingga meledaknya perang Salib yang berhasil menguasainya selama 88 tahun. Setelah itu Shalahuddin Al-Ayyubi mengembalikan Palestina kembali ke pangkuan umat Islam. Sehingga secara keseluruhan Palestina berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam selama 1200 tahun. Baru ketika ekspansi Kolonial Inggris ke Palestina tahun 1917, disusul dengan deklarasi pendirian Negara Israel tahun 1948, Palestina benar-benar
dalam kondisi mengkhawatirkan.
Berawal dari Nakbah (bencana) inilah, Palestina dirundung permasalahan besar yang sulit dipecahkan. Tentu semua masalah Palestina tidak mungkin diulas tuntas dalam tulisan singkat ini, untuk itu artikel ini hanya akan mengangkat satu permasalahan penting. Masalah yang turut meramaikan dinamika perpolitikan Palestina mutakhir. Dr. Fahmi Huwaidi (pemikir dan analis dunia Islam) menyebutnya sebagai ledakan bom dahsyat, begitu juga Dr. Musthafa Bakri (Pimred koran “Elaosboa”). Bom ini diledakkan ketika faksi-faksi Palestina sedang melakukan rekonsiliasi membentuk Negara Palestina Bersatu. Bom itu adalah dokumen rahasia yang mengungkap keterlibatan Abu Mazen dan Muhammad Dahlan (menteri pertahanan Palestina), dalam konspirasi pembunuhan mantan Presiden Palestina Yasser Arafat, bekerjasama dengan Israel dan AS.
Menyikapi masalah ini, hendaknya kita jauhkan permasalahan konflik internal Palestina-Palestina, sehingga pandangan observatif terkait masalah ini tidak mempengaruhi pisau analisa kita. Penulis dalam hal ini tidak membenarkan isi dokumen itu, dan tidak pula mengingkari kebenaran yang mungkin. Yang jelas dokumen yang dibeberkan Al-Qaddumi 12 Juli lalu itu perlu pembuktian.
Terlepas dari benar atau tidak, dokumen itu berisi notulasi pertemuan rahasia antara Abu Mazen, Dahlan, Ariel Sharon, dan William Perenz (Asisten Menlu AS untuk urusan Timur Tengah). Pertemuan ini terjadi pada tanggal 2 Maret 2004. Delapan bulan lebih 9 hari sebelum wafatnya Arafat. Pembicaraan yang berkembang dalam pertemuan itu mengarah pada rencana pembunuhan Arafat. Al-Qaddumi menerima dokumen itu dari tangan Arafat. Pasalnya Al-Qaddumy adalah termasuk salah satu pendiri gerakan Pembebasan Nasional Palestina Fatah. Dalam PLO ia juga menempati posisi penting, sebagai kepala Departemen Politik. Sedangkan di Fatah Al-Qaddumy menjabat sebagai sekretaris.
Posisi penting Al-Qaddumi di Fatah dan PLO, kawan karib kepercayaan Arafat, dan saksi sejarah Gerakan Fatah, menjadikan dokumen yang diungkapnya tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi realita di luar kasus dokumen itu menguatkan tuduhan yang dilontarkan Al-Qaddumy. Tiga tahun sebelum wafat, Arafat berada dalam isolasi pemerintah Israel, yaitu sejak Desember 2001 hingga penghujung bulan Oktober 2004, Arafat dirujuk ke rumah sakit militer “Persi” di Perancis, tanpa sepengetahuan dokter pribadinya, Dr. Asyraf Al-Kurdy.
Dirujuknya Arafat ke RS Persi, bermula dari tanggal 12 Oktober 2004 setelah makan siang dan tiba-tiba terjadi gangguan berat di usus Arafat yang berdampak diare. Di hari itu Mesir mengutus beberapa dokter spesialis, tapi meraka bingung tidak mampu mendiagnosa jenis penyakit yang diderita Arafat, begitu juga dokter spesialis Perancis. Baru setelah wafatnya Arafat (11 Nopember 2004) para dokter berhasil mengetahui sebab wafatnya Arafat yang tidak natural itu. Dipastikan sebab kematian Arafat karena racun ganas. Akhirnya Dr. Asyraf Al-Kurdy bersama para dokter spesialis bermaksud mengotopsi jasad Arafat sebelum dikebumikan, namun Abu Mazen menolak.
Beberapa hari pasca wafatnya Arafat, Presiden Libya, Muammar Qadhafi menegaskan bahwa di balik wafatnya Arafat ada konspirasi yang didalangi Israel bekerjasama dengan agen-agennya di Palestina. Qadhafi pun menggalang kekuatan dari para pimpinan Negara-negara Arab, namun kerja kerasnya ini tidak mendapat respon. Usaha ini pun kandas.
Tuduhan yang dilontarkan Al-Qaddumy semakin menguat, ketika Al-Qaddumy diwawancarai harian Al-Quds-Palestina edisi 22 Juli 2009, mengatakan bahwa selain dokumen tertulis ia juga mempunyai rekaman percakapan dalam pertemuan rahasia itu. Portal berita Al-Mukhtashar juga turut menguatkan keterlibatan elit Fatah dalam pembunuhan Arafat. Hal ini ditengarahi bahwa racun yang digunakan membunuh Arafat bernama Polonium, sebuah racun ganas yang juga membunuh intelijen Rusia, Alexander Litvinenko yang tewas di Inggris. Racun itu didapat Muhammad Dahlan dari Inggris.
Masih banyak kejanggalan yang memperkuat kebenaran dokumen Al-Qaddumy. Terakhir perlakuan pemerintah Palestina yang menutup kantor berita Al-Jazeerah di Tepi Barat, menambah keganjilan sikap Abbas. Pasalnya Al-Jazeera termasuk getol memberitakan isu hangat ini. Kebenaran akan selalu menang. Sebaliknya kebatilan akan sirna. Wallahu A’lam bish shawab.
Penulis: Ahmad Musyafa’, Lc
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Al-Azhar Kairo Jurusan Dakwah dan Wawasan Islam, Direktur Studi Informasi Alam Islami (SINAI), email: el_bandawy@yahoo.com
0 komentar:
Post a Comment